Adaptasi perubahan iklim
Adaptasi perubahan iklim merupakan salah satu respon yang dilakukan oleh manusia dalam menghadapi perubahan iklim. Menurut NASA (The National Aeronautics and Space Administration) hal ini merupakan salah satu bentuk respon terhadap perubahan iklim selain mitigasi.[1]
Adaptasi dilakukan untuk mengurangi kerentanan terhadap efek perubahan iklim. Karena tingkat kejenuhan karbon yang cukup tinggi dan waktu tinggal karbon di atmosfer memakan waktu ratusan tahun, bumi juga perlu waktu yang lama untuk kembali ke suhu normal. Oleh karena itu, pemanasan global tidak hanya akan memberi dampak pada generasi saat ini, tetapi juga generasi-generasi selanjutnya.[1] Dengan dilakukannya adaptasi, diharapkan kemampuan manusia menghadapi perubahan iklim dapat meningkat seiring dengan usahanya dalam mengurangi pemanasan global.
Dampak Perubahan Iklim
suntingPenurunan volume es dan naiknya muka air laut
suntingAkibat tingginya jumlah karbon dioksida di atmosfer bumi sejak tahun 1980, terjadi peningkatan suhu bumi secara global. Peningkatan ini terjadi dalam besaran yang bervariasi, rata-rata pada tahun 2000-2009 sebesar 0,6 °C sejak tahun 1980.[2] Peningkatan suhu paling ekstrim terjadi di kutub utara, yakni sebesar 2 °C pada tahun 2000-2009.[2] Peningkatan suhu ini menyebabkan pelelehan es dalam jumlah yang cukup banyak. Pada tahun 2019, total es di Kutub Utara menunjukkan volume terkecil kedua sepanjang sejarah, yakni 13.500 km³.[3] Selain di Kutub Utara, pelelehan es di bagian bumi lain juga tidak kalah memprihatinkan. Greenland yang dikenal dengan wilayah yang sebagian besar tertutup es merasakan dampak dari pelelehan es di kutub. Negara ini mengalami kenaikan suhu sebesar 0,75 °C dalam kurun waktu satu dekade dan sejak tahun 1992 dan telah kehilangan es sebanyak 3,8 miliar ton.[4]
Selain pelelehan es permukaan yang sementara, pelelehan permafrost juga menjadi bahaya lain dari kenaikan suhu. Permafrost yang meleleh melepas karbon dioksida dan metana setara 4-6 tahun produksi bahan bakar fosil, yang mana telah terkubur jutaan tahun dalam lapisan es abadi.[5] Gas-gas tersebut akan menyumbang efek rumah kaca tambahan yang salah satunya berupa percepatan peningkatan suhu. Selain itu, diduga pelelehan ini juga menyebabkan virus dan bakteri yang telah tertahan dalam es lepas dan berinteraksi dengan hewan dan manusia. Dugaan ini didukung dengan kasus antraks yang terjadi di Seberia tahun 2016.[6]
Berkurangnya es di bumi akibat pelelehan diikuti juga oleh naiknya volume air laut yang dapat diamati dari kenaikan permukaannya. Hingga tahun 2018, kenaikan permukaan laut rata-rata sejak tahun 1980 sebesar 8 inci. Berdasarkan jumlah es yang hilang di Greenland hingga tahun tersebut, kenaikan air laut lokal yang terjadi sebesar 10,6mm.[4] Semakin tinggi dan luas permukaan laut, maka energi panas yang dipantulkan (oleh permukaan es) akan semakin sedikit dibandingkan dengan energi yang yang diserap (oleh permukaan laut). Tingginya energi yang diserap akan menjadi faktor penyebab lain naiknya suhu permukaan bumi.[7]
Perubahan intensitas presipitasi
suntingMeningkatnya suhu secara global meningkatkan volume air yang menguap. Selain itu, kemampuan udara dalam menahan uap air juga bertambah. Semakin tinggi suhu, semakin besar kapasitas uap air yang tertahan.[8] Hal ini menyebabkan adanya perubahan intensitas presipitasi secara global. Sayangnya, perubahan ini tidak merata di seluruh bagian bumi. Pada lokasi yang kering, intensitas presipitasi akan cenderung menurun, sementara pada lokasi yang basah, terutama laut akan cenderung bertambah. Hal ini menjadi salah satu faktor meningkatnya tingkat kekeringan dan jumlah kasus banjir akibat perubahan iklim.[9]
Peningkatan intensitas badai
suntingAdanya peningkatan suhu permukaan air laut menyebabkan peningkatan kecepatan angin. Angin badai yang berkecepatan tinggi yang disertai dengan meningkatnya jumlah uap air meningkatkan risiko kerusakan apabila badai terbawa menuju ke daratan.[10] Frekuensi dan intensitas setiap lokasi berbeda-beda, tergantung besar perubahan suhu dan iklim setempat.
Rencana Adaptasi Berdasarkan Beberapa Organisasi
suntingPerserikatan Bangsa-Bangsa
suntingUsaha adaptasi Perserikatan Bangsa Bangsa dimulai dengan merumuskan dalam suatu persetujuan yakni United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditandatangani tahun 1992. Sekretariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman.[11] Satuan di bawah UNFCCC yang mengatur mengenai adaptasi perubahan iklim adalah UN Climate Change Adaptation Unit. Dengan mengadaptasi dari Protokol Kyoto dan Persetujuan Paris, satuan ini membagi adaptasi perubahan iklim menjadi empat fokus, yakni: adaptasi berdasarkan ekosistem (ecosystem-based adaptations), pengetahuan, analisis, dan jejaring (knowledge, analysis, and networking), program ilmu adaptasi dunia (world adaptation science program), dan akses terhadap adaptasi finansial (access to adaptation finance)[12].
Selain itu, dibentuk juga Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, yang merupakan badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengakomodasikan ruang antarpemerintah dalam menangani perubahan iklim. Hasil laporan badan ini kemudian dilapokan secara berkala. Laporan AR5 (fifth assesment report) pada tahun 2014 di dalamnya membicarakan mengenai adaptasi perubahan iklim. Badan ini menyatakan bahwa adaptasi perubahan iklim merupakan kerjasama antara negara sebagai perancang dan perencana serta komunitas lokal sebagai responden. Pendekatan akan masalah ini harus dilakukan dari berbagai sisi dengan berbagai alat, tergantung situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Manajemen risiko bencana merupakan hal yang diperlukan dan berhubungan erat dengan adaptasi perubahan iklim. Alat yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan hal tersebut terbagi menjadi beberapa, antara lain: alat pengambilan keputusan, perencanaan, pengembangan teknologi, serta asuransi dan proteksi sosial.[13]
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi
suntingOrganisasi ini menyatakan bahwa rencana adaptasi harus fleksibel dan terintegrasi dengan pembuat aturan yang bersangkutan.[14] Karakter risiko dari perubahan iklim sangat banyak dan tidak dapat diprediksi, sehingga diperlukan pembuatan aturan yang fleksibel, terintegrasi, dan berulang untuk mencapai manajemen risiko yang baik. Dalam perencanaan itu, di dalamnya harus: mampu meningkatkan pengetahuan mengenai risiko perubahan iklim, terdapat rencana atas berbagai kemungkinan, serta terdapat sistem respon dan pemulihan.[14]
Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Berbagai Bidang
suntingPanel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim menyatakan dalam AR5 terdapat beberapa bidang yang wajib melakukan adaptasi, beberapa adalah kesehatan, sistem pengairan, dan sistem produksi makanan.
Kesehatan
suntingDalam bidang kesehatan, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar sehubungan dengan adaptasi perubahan iklim, pemetaan kerawanan terhadap penyakit akibat perubahan iklim seperti malaria, demam berdarah, dan antraks, serta integrasi antara perencanaan mengenai mitigasi bencana dengan kepentingan kesehatan wajib dilakukan untuk menunjang adaptasi[15]
Sistem Pengairan
suntingSistem pengairan dapat dijaga dengan beberapa metode. Metode yang dapat dilakukan salah satunya adalah adaptasi berdasarkan ekosistem (ecosystem-based adaptation). Adaptasi ini dilakukan dengan memusatkan adaptasi pada perkembangan ekosistem. Hal yang dapat dilakukan antara lain: pengurangan stress non-iklim, peremajaan ekosistem tinggi risiko perubahan iklim, perhitungan kembali luasan daerah lindung, serta manajemen lanskap dan batas air.[16]
Sistem Produksi Makanan
suntingUntuk menjaga produksi makanan tetap berlangsung selama perubahan iklim, diperlukan adaptasi pada seluruh komponen produksi, baik pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain: mengubah masa tanam dan masa panen mengikuti perubahan iklim, melakukan tumpang sari, dan pengenalan tanaman lokal sebagai bahan pangan baru.[17]
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ a b website, NASA's Global Climate Change. "Climate Change Adaptation and Mitigation". Climate Change: Vital Signs of the Planet. Diakses tanggal 2019-12-17.
- ^ a b "Arctic Amplification". earthobservatory.nasa.gov (dalam bahasa Inggris). 2013-05-26. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "Polar Science Center » PIOMAS Arctic Sea Ice Volume Reanalysis". psc.apl.uw.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ a b Amos, Jonathan (2019-12-10). "Greenland ice melt 'is accelerating'". BBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "Arctic permafrost is thawing fast. That affects us all". Environment (dalam bahasa Inggris). 2019-08-13. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Fox-Skelly, Jasmin. "There are diseases hidden in ice, and they are waking up". www.bbc.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Scudellari, Amber Jenkins, Megan. "An unrecognizable Arctic". Climate Change: Vital Signs of the Planet. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "Explainer: What climate models tell us about future rainfall". Carbon Brief (dalam bahasa Inggris). 2018-01-19. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Ogburn,ClimateWire, Stephanie Paige. "Climate Change Is Altering Rainfall Patterns Worldwide". Scientific American (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "Hurricanes and Climate Change". Center for Climate and Energy Solutions. 2019-10-01. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ "About Us". unfccc.int. Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ Environment, U. N. (2017-09-14). "Climate adaptation". UNEP - UN Environment Programme (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-23.
- ^ IPCC Working Group II (2014). "Fifth Assesment Report" (PDF).
- ^ a b OECD (2015). "Adapting to The Impacts of Climate Change" (PDF).
- ^ IPCC (2014). "Human Health: Impacts, Adaptation, and Co-Benefits" (PDF). AR5.
- ^ IPCC (2014). "Terrestrial and Inland Water Systems" (PDF). AR5.
- ^ IPCC (2014). "Food Security and Food Production Systems" (PDF). AR5.