Abu kayu adalah material (umumnya berupa bubuk) yang tersisa setelah pembakaran kayu. Penghasil utama abu kayu adalah industri kayu dan pembangkit listrik tenaga biomassa. Abu kayu sebagian besar tersusun dari senyawa kalsium bersama dengan elemen lain yang tidak mudah terbakar yang dikandung kayu. Abu kayu telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan sepanjang sejarah.

Abu dari pembakaran pohon kelapa.
Abu kayu sisa dari sebuah api unggun.

Kandungan

sunting

Umumnya, 6-10% massa kayu yang dibakar menghasilkan abu. Komposisi kayu dipengaruhi oleh jenis kayu yang dibakar. Kondisi pembakaran juga memengaruhi komposisi abu dan jumlah abu yang tersisa; temperatur yang tinggi akan mengurangi jumlah abu yang dihasilkan.

Abu kayu mengandung kalsium karbonat sebagai komponen utamanya, mewakili 25-45% massa abu kayu. Kalium terdapat pada jumlah kurang dari 10%, dan fosfat kurang dari 1%. Terdapat juga besi, mangan, seng, tembaga, dan beberapa jenis logam berat. Namun, komposisi abu kayu sangat bergantung pada jenis kayu dan kondisi pembakaran seperti temperatur.

Penggunaan

sunting

Abu kayu umumnya dibuang ke lahan pembuangan, namun alternatif pengolahan yang ramah lingkungan dapat menjadi suatu hal yang sangat menarik.

Sejak lama diketahui bahwa abu kayu dapat digunakan sebagai pupuk karena mengandung berbagai macam mineral, namun tanpa nitrogen. Keberadaan kalsium karbonat dapat digunakan untuk menurunkan tingkat keasaman tanah. Kalium hidroksida dapat dibuat dari abu kayu, yang dapat dipakai sebagai bahan pembuat sabun.

Abu kayu dapat digunakan sebagai pupuk yang digunakan untuk memperkaya nutrisi tanah pertanian. Abu kayu berfungsi sebagai sumber kalium dan kalsium karbonat, yang bertindak sebagai zat pengapur untuk menetralkan tanah asam.

Abu kayu juga dapat digunakan sebagai pengganti larutan hidroponik organik, umumnya menggantikan senyawa anorganik yang mengandung kalsium, kalium, magnesium dan fosfor.[1]

Kalium hidroksida dapat dibuat langsung dari abu kayu[2] dalam bentuk ini, dikenal sebagai potasium kaustik atau alkali. Karena sifatnya ini, abu kayu juga dipakai untuk membuat sabun tradisional dari abu kayu yang biasanya disebut abu gosok.

Pengolahan makanan

sunting

Abu kayu kadang-kadang digunakan dalam proses pengolahan makanan yang disebut nikstamalisasi, di mana bahan direndam dan dimasak dalam larutan alkali untuk meningkatkan kandungan nutrisi dan mengurangi risiko toksin. Di Indonesia proses pengolahan semacam ini ditemui misalnya dalam pembuatan kripik gadung yang memanfaatkan abu gosok untuk menurunkan kadar asam sianida.[3] Larutan alkali juga awalnya dibuat abu kayu saat pertama kali ditemukan.

Roti beragi awal dipanggang sejak 6000 SM oleh bangsa Sumeria, yang mungkin telah mewariskan pengetahuan mereka kepada orang Mesir sekitar 3000 SM. Bangsa Sumeria sudah menggunakan abu kayu sebagai zat tambahan adonan roti saat dipanggang.[4] Saat ini, jumlah kadar abu kayu dalam tepung roti, yang diukur dengan alveograf Chopin,[5] diatur secara ketat di beberapa negara seperti Prancis.[6]

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Sholto Douglas, James (1985). Advanced guide to hydroponics: (soiless cultivation). London: Pelham Books. hlm. 345–351. ISBN 9780720715712. 
  2. ^ "Making lye from wood ash". Journey to Forever. 14 May 2009. Diakses tanggal 2008-10-01. 
  3. ^ Siqhny, Zulhaq Dahri; Sani, Elly Yuniarti; Fitriana, Ika (2020-09-11). "Pengurangan Kadar HCN pada Umbi Gadung Menggunakan Variasi Abu Gosok dan Air Kapur". Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. 15 (2): 1–9. doi:10.26623/jtphp.v15i2.2620. ISSN 2580-846X. 
  4. ^ Arzani A.: Emmer (Triticum turgidum spp. dicoccum) flour and breads. In Preedy V.R., Watson R.R., Patel V.B. (Eds. 2011), Flour and Breads and their Fortification in Health and Disease Prevention, Academic Press, California, pp. 69-78.
  5. ^ Li Vigni, M.: Monitoring Flour Performance in Bread Making. In Preedy V.R., Watson R.R., Patel V.B. (Eds. 2011), Flour and Breads and their Fortification in Health and Disease Prevention, Academic Press, California, pp. 69-78.
  6. ^ "Décret n° 63-720 du 13 juillet 1963 relatif à la composition des farines de blé, de seigle et de méteil". Journal officiel de la République française. Lois et décrets n° 0169 du 20/07/1963. 169: 6722. 20 July 1963. 

Pranala luar

sunting