Ablasi gigi (juga dikenal sebagai ekstraksi gigi) adalah pencabutan gigi sehat manusia secara sengaja. Prosedur ini tercatat dilakukan oleh berbagai masyarakat kuno maupun modern seluruh dunia. Modifikasi gigi jenis ini sangat mencolok secara visual dan tampak langsung terlihat oleh orang lain baik dari kelompok yang sama maupun berbeda. Terdapat banyak alasan dilakukannya ablasi gigi, termasuk untuk identifikasi kelompok, hiasan, dan upacara peralihan seperti upacara kedewasaan, pernikahan, dan kedukaan. Arti sosial ablasi gigi bagi masyarakat kuno masih tidak diketahui dan mungkin arti tersebut berganti seiring waktu berjalan. Ablasi gigi dapat berdampak signifikan bagi kemunculan, oklusi, dan pola pakai gigi yang lain.[1]

Seorang wanita BaTonga yang gigi depannya dicabut dengan tujuan kecantikan.

Prosedur

sunting

Ada berbagai teknik ablasi gigi. Pada prinsipnya, ablasi akan selalu disertai nyeri dan risiko infeksi. Di Hawaii, gigi seri dicabut dengan tongkat dan kayu maka sering kali ada akar sisa dalam rahang. Di Afrika, teknik ekstraksi digunakan. Di Sudan, bakal gigi susu bayi yang belum mencapai usia satu bulan dicabut dengan kail ikan dan kawat logam. Di hulu Sungai Nil, gigi utuh dicabut dengan cara melonggarkan gigi-gigi anterior dari rongganya dengan paku besi. Suku Nuer dari Sudan Selatan masih melakukan teknik pencabutan yang mana bilah pisau digunakan untuk melonggarkan gigi-gigi di sekitar akarnya tanpa bius. Orang Nuer tidak diperbolehkan menunjukkan emosi atau rasa nyeri.[2]

Ablasi gigi bawah mengakibatkan perubahan yang sangat terlihat pada wajah individu dan memengaruhi pengucapan kata serta suara lainnya.[2]

Bentuk praktik

sunting

Afrika

sunting

Ablasi gigi pernah umum dilakukan di Afrika, terutama di Afrika Timur dan Afrika Tengah bagian timur. Di Afrika Barat, ekstraksi gigi ini jarang dilakukan. Namun, Suku Ashanti biasa mematahkan gigi tahanan perangnya. Sejumlah kelompok di Kamerun, Ghana, Togo, dan Liberia melakukan ablasi gigi. Begitu pula kelompok di Angola dan Namibia.[3] Di Kenya, Tanzania, dan Sudan Selatan, ablasi gigi banyak dilakukan oleh Suku Nilotik. Di Sudan Selatan, gigi-gigi seri bawah (dan kadang gigi-gigi taring juga), dicabut pada waktu yang berdekatan dengan munculnya gigi-gigi tersebut. Hal itu dilakukan dalam upacara peralihan dengan alasan kecantikan, memunculkan suara linguistik tertentu, dan memudahkan persetubuhan oral. Suku Dinka, Nuer, dan Maban, terutama yang di pedesaan, banyak melakukannya. Suku Luo mencabut enam gigi bawah sebagai penanda awal masa dewasa.Suku Maasai di Kenya mencabut gigi seri susu bawah bayi yang berusia enam bulan, dan gigi seri permanen bawah anak-anak yang berusia enam tahun. Prosedur tersebut hanya dilakukan pada anak laki-laki untuk membantu pemberian makan ketika sakit tetanus dan mencegah penculikan bayi secara gaib.[4] Di Cape Town, Afrika Selatan, ablasi gigi sering dilakukan dalam upacara peralihan baik pada remaja Kulit Hitam dan Kulit Putih, terutama yang berasal dari keluarga dengan status sosial-ekonomi rendah. Penduduk Cape Flats melakukan modifikasi gigi sejak sekurang-kurangnya 60 tahun yang lalu dengan mencabut gigi seri. Orang berkulit berwarna di Afrika Selatan terkenal mencabut gigi depan mereka. Orang-orang banyak beranggapan hal itu dilakukan untuk membantu persetubuhan oral, mereka menyebutnya “Passion Gap” atau “Cape Flats Smile”. Alasan lain yaitu mode, tekanan sosial, dan aktivitas geng. Prosedur ini menjadi semakin populer pada beberapa tahun belakangan walau dokter gigi tidak mendukung pencabutan gigi sehat. Maka dari itu, dokter gigi Afrika Selatan telah memasang ribuan gigi palsu parsial pada pasien yang membutuhkan penampilan menjanjikan saat bekerja atau menghadiri acara khusus.[4]

Di Asia, pencabutan dan mutilasi gigi tercatat dilakukan di Sulawesi Tengah, Guizhou timur, Indochina Prancis, Sumatra, dan juga Taiwan.[3] Bukti arkeologi menunjukkan bahwa penduduk Taiwan dan Tiongkok daratan melakukan pencabutan gigi sebelum bangsa Austronesian menyebar dari sana.[5] Di Indonesia, kebanyakan gigi yang dicabut dalam ritual adalah gigi seri. Gigi-gigi yang dicabut dipukul dengan alat yang menyerupai palu atau disentak ke samping dengan alat yang menyerupai tuas agar longgar sebelum dicabut. Pada Suku Uma dari Sulawesi Tengah, semua gigi seri anak perempuan (empat gigi atas dan empat gigi bawah) dicabut dalam upacara peralihan yang disebut mehopu’. Upacara tersebut diadakan di awal masa pubertas. Pemerintah Hindia Belanda melarang upacara ini pada awal tahun 1920-an dan prosedur ini hampir tidak pernah lagi dilakukan pada tahun 1940-an.[5] Di Borneo, ablasi gigi dilakukan dengan dasar keyakinan magis-reliji, agar memudahkan pemberian makan kepada penderita tetanus, atau meningkatkan kekuatan tiupan sumpitan. Panah beracun akan memiliki daya dorong lebih besar.[4]

Oceania

sunting

Ablasi gigi dipraktikkan di Kepulauan Marquesas[3] dan Hawaii saat kepala suku wafat.[2]

Pada beberapa suku Aborigin Australia, ablasi gigi umum dilakukan pada upacara peralihan atau sebagai tanda kedukaan. Ada banyak anak laki-laki Aborigin Australian yang giginya dicabut saat pubertas.[4] Suku Uutaalnganu dari Semenanjung Cape York mengadakan aturan rumit bersangkutan ablasi gigi, ini berkaitan dengan kekerabatan. Sebelum atau selama pubertas, pemuda mendapatkan ablasi satu gigi seri atas. Gigi seri kanan dicabut jika pemuda tersebut menggunakan tangan kanan secara dominan dan gigi seri kiri dicabut jika pemuda tersebut kidal. Pelaku pencabutan gigi merupakan kerabat dari sisi ibu. Sejumlah orang yang relatif tua dari Suku Uutaalnganu dan masih hidup mengalami ablasi tetapi praktik ini tidak lagi dilakukan.[6]

Di New Hebrides, dua gigi seri tengah atas dicabut saat pubertas. Ini dilakukan hanya pada anak perempuan sebagai tanda masuk ke masa dewasa dan sebagai pengorbanan yang dilakukan untuk mewakili nilai kematian dalam penderitaan. Ritual ini berlaku sebagai pembayaran harga perpindahan sosial anak perempuan menjadi wanita.[4]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Humphrey, Louise T.; Bocaege, Emmy (2008). "Tooth Evulsion in the Maghreb: Chronological and Geographical Patterns" (PDF). 
  2. ^ a b c De Groote, Isabelle; Humphrey, Louise T. (2016-08). "Characterizing evulsion in the Later Stone Age Maghreb: Age, sex and effects on mastication". Quaternary International. 413: 50–61. doi:10.1016/j.quaint.2015.08.082. ISSN 1040-6182. 
  3. ^ a b c Satapathy, Sukanta Kumar (2013). "Natural Teeth Replacing Artificial Teeth in a Partial Denture: A Case Report". JOURNAL OF CLINICAL AND DIAGNOSTIC RESEARCH. doi:10.7860/jcdr/2013/5774.3291. ISSN 2249-782X. 
  4. ^ a b c d e Pinchi, Vilma; Barbieri, Patrizia; Pradella, Francesco; Focardi, Martina; Bartolini, Viola; Norelli, Gian-Aristide (2015-03-15). "Dental Ritual Mutilations and Forensic Odontologist Practice: a Review of the Literature". Acta Stomatologica Croatica. 49 (1): 3–13. doi:10.15644/asc49/1/1. ISSN 0001-7019. 
  5. ^ a b Martens, Michael (2013). "Tooth transfigurement in Indonesia" (PDF). Diakses tanggal 10 August 2021. 
  6. ^ Rigsby, Bruce; Chase, Athol. "The Sandbeach People and dugong hunters of Eastern Cape York Peninsula: property in land and sea country" (PDF). Diakses tanggal 10 August 2021.