K.H. Abdullah Abbas (lahir di Buntet Cirebon, Jawa Barat, 7 Maret 1922) adalah seorang ulama besar di Jawa Barat Pengasuh Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah Panglima Perang dalam Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Abdullah Abbas
Lahir(1922-03-07)7 Maret 1922
Belanda Buntet, Cirebon, Masa Penjajahan Hindia Belanda
Meninggal10 Agustus 2007(2007-08-10) (umur 85)
Indonesia Cirebon
KebangsaanIndonesia
Suami/istriNyai Hj. Aisah
Nyai Hj. Zaenab
AnakNyai Hajjah Qoriah (dari Hj. Aisah)
Ani Yuliani
Ayip Abbas
Asiah
Ismatul Maula
Laela
Mustahdi
Muhammad
Yusuf
Neneng Mar’atussholiha
Abdul Jamil (dari Hj. Zaenab)

Beliau juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat. Empat ulama kharismatik Jawa Barat yakni KH. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya), KH. Anwar Musaddad (sesepuh Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut), KH. Drs.Totoh Abdul Fatah Ghazali, S.H., (sesepuh Pondok Pesantren Al-Jawami Cileunyi Bandung), serta K.H. Irfan Hielmy (sesepuh Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis). K.H. Abdullah Abbas

Biografi

sunting

K.H. Abdullah Abbas bin K.H. Abbas bin K.H. Abdul Jamil bin K.H. Muta'ad (menantu Mbah Muqoyim) Allahu yarham. Mbah Muqowim adalah Mufti Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I atau Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak sultan Khairuddin II atau Sultan Anom VII Muhammad Kamaroedin II Keraton Kanoman yang lahir pada tahun 1777.[1] KH Abdullah Abbas adalah anak pertama Kiai Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik laki-laki yaitu K.H. Nahduddin Royandi.

Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang Banten.

Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia. Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri Qori terkenal K.H. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah, Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan Abdul Jamil.

Pendidikan

sunting

Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur.

Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus Syekh K.H. Hasjim Asy’ari, Pendiri NU di Jombang, Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.

Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.

Kiprah Sang Kiai Kharismatik

sunting

KH. Abdullah Abbas rahimahullah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon termasuk Kiai Khos (langka) yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.

Kiai Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. K.H. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.

Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah, juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.

Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur Abdurrahman Wahid, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.

Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh K.H. Hasjim Asy'ari, Kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.

Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.

Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.

Pesantren Buntet

sunting

Awal mula berdirinya Buntet Pesantren, salah satu satu pesantren tertua di Indonesia, pertama kali didirikan pada abad tahun 1750 M, oleh KH. Muqoyyim bin Abdul Hadi, atau orang Buntet menyebutnya Mbah Muqoyyim sebagai pejabat mufti (Pengadilan Agama Resmi) Keraton Cirebon.

Salah satu sifatnya adalah tidak mau kooperatif dengan Belanda, yang banyak mencampuri urusan internal keraton, sehingga lebih memilih tinggal di luar keraton dan mendirikan pesantren. Dalam perantauan inilah memulai kehidupan sebagai kyai dengan mendirikan masjid dan gubuk kecil dan mulai mengajar agama.

Melihat luasnya keilmuwan Mbah Muqowim dan dikenal sebagai orang Keraton serta tauladan yang ditunjukan masyarakat membuat pesantren beliau didatangi banyak murid, sehingga semakin berkembanglah pesantren dengan pesat dan terus berkembang hingga saat ini.

Dalam perjalanan pendirian pesantren, alangkah baiknya, kita melihat sosok pendiri dan bagaimana kiprahnya dalam membangun pesantren yang telah banyak meluluskan santrinya ini, berikut pimpinan pesantren Buntet sejak berdiri:[2]

  • K.H. Mbah Muqoyim (1750-1785)
  • K.H. Mutta'ad (1785–1852)
  • K.H. Abdul Jamil (1842–1919)
  • K.H. Abbas (1879–1946)
  • K.H. Mustahdi Abbas (1913–1975)
  • K.H. Mustamid Abbas (1975–1988)
  • K.H. Abdullah Abbas (1988– 2007)
  • K.H. Nahduddin Abbas (2007 - .... )

Meninggal

sunting

K.H. Abbas meninggal dunia pada 10 Agustus 2007 dalam usia 85 tahun. Indonesia kehilangan salah satu ulama panutan, yakni KH Abdullah Abbas, pengasuh pondok pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Beliau menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Tentara (RST) Ciremai pada hari Jumat (10/8/2007) lalu pukul 04.30 WIB, seminggu sebelum peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-62.[3]

Sebelumnya pelayat dari pagi sampai siang hari melakukan sholat jenazah K.H. Abdullah Abbas yang biasa di panggil Ki Dulloh di rumah duka. Lepas shalat Jum’at, jenazah almarhum kembali dishalatkan di Masjid Besar Buntet Pesantren oleh sekitar 3.000 santri melaksanakan salat jenazah yang dipimpin KH Abdul Hamid Annas, yang juga seorang pimpinan Pondok Buntet Pesantren. Setelah itu dilanjutkan dengan acara pelepasan jenazah.

Ribuan pelayat itu mengantarkan Almarhum ke tempat peristirahatan terakhir di Pemakaman Keluarga Buntet Pesantren atau TPU Gajang Ngambung di Desa Buntet, Astana Japura, Kabupaten Cirebon sekitar 800 meter dari rumah duka. Sekitar pukul 15.25 WIB jenazah mendiang KH Abdullah Abbas diturunkan ke liang lahat.

K.H. Abdullah Abbas dalam Pandangan Tokoh

sunting

Prof.Dr. Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) yang datang mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa, tidak hanya Cirebon dan Jawa Barat yang merasa kehilangan, tetapi bangsa Indonesia dan dunia Islam telah kehilangan contoh pemimpin teladan yang amanah Presiden berharap santri dan masyakarat Indonesia mampu mewarisi semangat perjuangan beliau yang tanpa pamrih.

K.H. Hafidz Utsman, Ketua MUI Jabar sebagai Wakil dari PBNU sekaligus dalam sambutan pelepasan mengatakan, Ki Dulloh merupakan sosok pejuang lima zaman mulai zaman penjajahan, zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi. Selalu membimbing perjalanan bangsa, dengan memberikan taushiyah kepada semua pemimpin antara lain untuk selalu bersatu dalam membangun bangsa.

H. Muhaimin Iskandar mewakili DPR RI yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa mengatakan,Sedangkan bangsa Indonesia khususnya umat Islam saat ini merasa bersedih dengan kehilangan ulama besar, namun dibalik itu ada tanggungjawab untuk meneruskan apa yang telah diwariskan Sang Kiai.

Referensi

sunting

Catatan Kaki

sunting

Pranala luar

sunting