Abdul Wahab Rokan

ulama ahli fikih, seorang sufi, sekaligus mursyid (pembimbing rohani) Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah asal Indonesia

Abdul Wahab Rokan atau dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi (lahir 28 September 1811 di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Nagari Tinggi, Kabupaten Kampar, Riau - meninggal 27 Desember 1926 di Besilam pada umur 115 tahun) adalah seorang ulama ahli fikih, seorang sufi, sekaligus mursyid (pembimbing rohani) Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Riau dan Sumatra Timur pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.[1][2] Nama beliau diabadikan oleh pendiri Pondok Pesantren Babussalam, Pekanbaru, Riau sebagai nama lembaga berbadan hukum yang menaungi Pondok Pesantren ini, yaitu: Yasasan Syekh Abdul Wahab Rokan.[3][4]

Abdul Wahab
Syekh Abdul Wahab Rokan
NamaAbdul Wahab
NisbahRokan al-Khalidi an-Naqsyabandi
KebangsaanIndonesia

Biografi

sunting

Asal usul

sunting

Syeikh Abdul Wahab Rokan lahir dengan nama Abu Qosim, setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Haji Abdul Wahab.[1][5] Sedangkan tambahan nama Rokan menunjukkan bahwa ia berasal dari wilayah Sungai Rokan.[1] Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpendidikan, taat beragama dan sangat dihormati.[6] Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Tuanku Abdullah Tambusai, seorang ulama terkemuka di kampungnya, sedangkan buyutnya bernama Tuanku Tambusai, seorang ulama dan pejuang yang masih keturunan keluarga Kerajaan Islam Siak Seri Inderapura.[1][6] Ibunya bernama Arbaiyah binti Dagi yang masih keturunan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara.[1][6]

Pendidikan

sunting

Syeikh Abdul Wahab pertama kali mendapatkan pendidikan al-Quran langsung dari ayahnya, namun setelah ayahnya meninggal ia melanjutkan belajarnya kepada Tuanku Muhammad Shaleh Tambusai dan Tuanku Haji Abdul Halim Tambusai.[1] Setelah belajar kepada kedua gurunya tersebut, Syeikh Abdul Wahab telah mampu berkembang pesat dalam menguasai ilmu bahasa Arab dan fikih, sehingga ia dijuluki "Faqih (ahli ilmu fikih) Muhammad" oleh gurunya.[1]

Syeikh Abdul Wahab juga belajar kepada Syeikh Muhammad Yusuf di Semenanjung Melayu selama dua tahun.[1] Pada tahun 1863, ia melanjutkan menunaikan ibadah haji ke Mekah sekaligus melanjutkan memperdalam ilmu-ilmu keislaman di sana.[1] Selama enam tahun (1863-1869) ia bermukim dan belajar kepada ulama-ulama terkenal di Mekah.[1]

Di antara guru-guru Syeikh Abdul Wahab ketika belajar di Mekah ialah:[1]

  • Syeikh Saidi Syarif Dahlan (mufti mazhab Syafi'i)
  • Syeikh Hasbullah (ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram)
  • Syeikh Muhammad Yunus Abdurrahman Batu Bara (ulama Indonesia asal tanah Batak)
  • Syeikh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abu Qubais, Mekah

Syeikh Sulaiman Zuhdi inilah yang kemudian memberi ijazah (pegesahan) dan membaiat Syeikh Abdul Wahab untuk mengamalkan dan menyiarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di tanah kelahirannya.[1] Syeikh Sulaiman Zuhdi pula yang memberikan gelar Al-Khalidi An-Naqsyabandi di belakang nama Abdul Wahab Rokan.[1]

Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

sunting

Sepulang dari Mekah, Syeikh Abdul Wahab mendirikan perkampungan di sekitar Sungai Rokan yang ia beri nama Tanjung Masjid (Kampung Masjid).[1] Ia menyebarkan tarekatnya tidak hanya sebatas di kampungnya saja, tetapi juga meliputi wilayah Riau, Tapanuli Selatan, Sumatra Timur, bahkan sampai ke Semenanjung Melayu.[1] Pada tahun 1874, Syeikh Abdul Wahab pindah ke Dumai (Pantai Timur Riau) dan mengembangkan perkampungan baru di sana.[1] Namun ia tidak lama menetap di Dumai, ia kembali ke tanah kelahirannya di Rantau Binuang Sakti untuk mengembangkan tarekatnya di sana.[1]

Syeikh Abdul Wahab sempat mendirikan organisasi perjuangan Islam dengan dibantu oleh para ulama lain seperti Haji Abdullah Muthalib Mufti dan Sultan Zainal Abidin.[1] Namun, karena dirasa organisasi tersebut membahayakan, maka Pemerintah Hindia Belanda menangkapya dan mengasingkannya ke Madiun, Jawa Timur, serta membubarkan organisasi tersebut.[1] Pemerintah Hindia Belanda terus mencurigai setiap tindakan Syeikh Abdul Wahab, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Kampung Kualuh, Labuhan Batu, Sumatera Utara.[1] Di sana ia membangun lagi sebuah perkampungan dan di sana pula ia mulai memiliki santri.[1]

Pada tahun 1879, Syeikh Abdul Wahab mendapatkan wakaf sebidang tanah yang terletak di wilayah Langkat dari Sultan Langkat, yaitu Sultan Musa al-Muazzam Syah.[1] Pada tahun 1883, Syeikh Abdul Wahab beserta para santrinya kemudian membangun sebuah perkampungan baru lengkap dengan masjid dan pesantren.[1] Perkampungan tersebut semakin berkembang dan diberi nama Kampung Babussalam (Pintu Keselamatan) dan masyarakat umum sering menyebutnya Bassilam atau Besilam. Demikian pula nama pesantren dan masjidnya serta kegiatan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Wahab kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Bassilam.[1]

Referensi

sunting