Djaoeh di Mata

film Indonesia

Djaoeh Dimata[a] adalah film Hindia Belanda/Indonesia tahun 1948[b] yang ditulis dan disutradarai Andjar Asmara untuk South Pacific Film Corporation (SPFC). Dibintangi Ratna Asmara dan Ali Yugo, film ini mengisahkan seorang wanita yang pergi mencari kerja di Jakarta setelah suaminya menjadi buta akibat kecelakaan. Sebagai film pertama buatan SPFC, Djaoeh Dimata dibuat selama dua sampai tiga bulan dan memakan biaya hampir 130.000 gulden.

Djaoeh Dimata
Iklan koran, Surabaya
SutradaraAndjar Asmara
Ditulis olehAndjar Asmara
Pemeran
SinematograferA.A. Denninghoff-Stelling
Perusahaan
produksi
South Pacific Film Corporation
Tanggal rilis
  • 1948 (1948) (Hindia Belanda)
Negara
BahasaIndonesia

Sebagai film buatan domestik pertama yang dirilis dalam kurun lima tahun, Djaoeh Dimata mendapat sambutan hangat meski keuntungannya secara komersial dikalahkan oleh Air Mata Mengalir di Tjitarum besutan Roestam Sutan Palindih (dirilis tidak lama setelah Djaoeh Dimata). Para pemerannya masih aktif di industri perfilman Indonesia selama 30 tahun berikutnya dan SPFC memproduksi 6 film lagi sebelum ditutup tahun 1949. Salinan filmnya masih ada di Sinematek Indonesia.

Alur

Asrad (Ali Yugo), seorang warga desa yang miskin, menjadi buta setelah mengalami kecelakaan lalu lintas dan tidak bisa bekerja. Akibatnya, istrinya Soelastri (Ratna Asmara) pergi merantau ke ibu kota Jakarta. Karena Asrad tidak memercayai istrinya dan khawatir ia selingkuh, Asrad mengirimkan surat kepadanya supaya ia tidak pulang. Soelastri menjadi penyanyi dan terkenal tanpa sepengetahuan Asrad. Lagunya yang paling populer, "Djaoeh Dimata", diputar berkali-kali di radio dan langsung menjadi lagu kesukaan Asrad. Akhirnya Soelastri dibawa pulang oleh Soekarto (Iskandar Sucarno). Soekarto berusaha menjadikannya pembantu bagi Asrad. Saat Asrad mengenali suara istrinya, mereka bersatu kembali.[1]

Latar belakang

Pada dua tahun pertama 1940-an, terjadi pertumbuhan industri perfilman Hindia Belanda. Lebih dari 40 film dalam negeri diproduksi saat itu.[2] Pasca pendudukan Jepang bulan Februari 1942, produksi film menurun drastis dan hampir semua studio film ditutup. Studio terakhir, Multi Film yang dimiliki etnis Tionghoa, disita oleh Jepang untuk mendirikan perusahaan produksi filmnya sendiri, Nippon Eigasha, di ibu kota kolonial Jakarta. Penyitaan tersebut mencakup perlengkapan Multi Film yang dimanfaatkan Nippon Eigasha untuk membuat film fitur Berdjoang (1943) besutan Rd Ariffien, enam film pendek, dan beberapa rekaman berita. Semuanya adalah propaganda pro-Jepang.[3]

Setelah Jepang menyerah bulan Agustus 1945, sejumlah karyawan pribumi Indonesia di Nippon Eigasha mendirikan Berita Film Indonesia dan menjadi pengguna pertama studio tersebut. Perusahaan ini bekerja sama dengan pemerintah Indonesia yang baru saja diproklamasikan.[4] Selama era revolusi, pasukan sekutu Belanda dan Britania Raya menduduki Jakarta bulan November 1945. Belanda mengambil alih studio ini dan produksi rekaman berita di studio Multi Film dimulai tahun 1947 di bawah merek Regerings Film Bedrijf. Pada tahun selanjutnya, Belanda mendirikan anak perusahaan untuk memproduksi film fiksi. Perusahaan baru ini, South Pacific Film Corporation (SPFC), sebagian disubsidi oleh Netherlands Indies Civil Administration, pengganti bekas pemerintah kolonial Hindia Belanda.[5]

Produksi

Ratna Asmara dan Ali Yugo, para bintang film ini

SPFC mempekerjakan Andjar Asmara, mantan jurnalis dan pengarang lakon yang aktif di Java Industrial Film milik The Teng Chun sebelum pendudukan Jepang, untuk menyutradarai Djaoeh Dimata.[6] Ia membuat naskahnya berdasarkan drama yang pernah ia karang berjudul serupa.[7] Akan tetapi, seperti masa-masa sebelum perang, Andjar yang merupakan pribumi Indonesia menjadi pemeran dan pengarah dialog. Sinematografer Belanda, A.A. Denninghoff-Stelling, memiliki kewenangan kreatif yang lebih besar atas hasil akhirnya.[5] Max Tera menjadi asisten sinematografer di film hitam putih ini.[8]

Film ini dibintangi Ratna Asmara (istri Andjar), Ali Yugo, Iskandar Sucarno, dan Djauhari Effendi.[c][9] Semuanya pernah terlibat di dunia teater. Ratna dan Ali, bersama dengan Andjar, dulunya merupakan anggota grup sandiwara Dardanella pada awal 1930-an dan sama-sama memasuki industri perfilman pada tahun 1940 melalui film Kartinah.[10] Iskandar dan Djauhari sebelumnya aktif di teater pada masa pendudukan. Keduanya mengawali kariernya di perfilman melalui Djaoeh Dimata.[11]

Pengambilan gambar utamanya dilakukan di latar yang dibangun oleh pengarah artistik Hajopan Bajo Angin di studio SPFC di Jakarta. Perlengkapan perusahaan masih bagus, tetapi kondisinya tidak layak untuk perfilman. Sebuah laporan menyebutkan ada satu adegan (take) di dalam studio yang terganggu oleh suara mobil lewat.[12] Perekamannya yang memakan dua[13] sampai tiga bulan[14] selesai pada tanggal 10 November 1948.[15] Biaya produksinya hampir mencapai 130.000 gulden.[d] Separuh dana tersebut diperoleh dari sponsor etnis Tionghoa.[16] Film ni menyertakan beberapa lagu, termasuk hit Gesang Martohartono tahun 1940 "Bengawan Solo".[17]

Rilis dan tanggapan

Djaoeh Dimata dirilis pada akhir 1948 sebagai film cerita dalam negeri pertama sejak Berdjoang.[18] Meski ada celah lima tahun, kritikus film Usmar Ismail menulis bahwa celah ini tidak membedakan formula film yang terbukti sukses sebelum perang,[19] salah satunya menurut sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran adalah lagu, pemandangan indah, dan romansa.[20] Air Mata Mengalir di Tjitarum besutan Roestam Sutan Palindih yang memiliki tema serupa dirilis tidak lama setelah Djaoeh Dimata oleh rumah produksi saingan Tan & Wong Bros. Film tadi mendulang keuntungan besar.[21] Hanya tiga film dalam negeri yang dirilis tahun 1946. Film terakhir adalah buatan SPFC berjudul Anggrek Bulan yang juga disutradarai Andjar.[22]

Ulasan untuk film semua umur ini[17] beragam. Satu ulasan di koran Jakarta Het Dagblad menyebut film ini memiliki banyak adegan lemah sekaligus adegan kuat. Ulasan tersebut memuji peran Ali sebagai pria yang buta dan permainan kamera Denninghoff-Stelling.[23] Pengulas lainnya di majalah Mestika mendeskripsikan Ratna sebagai "sosok tragediwati yang tak terduga"[e] yang mampu membuat penonton mengeluarkan "air mata emosi yang tak terbendung".[f][24]

Andjar menyutradarai dua film lagi untuk South Pacific, Anggrek Bulan dan Gadis Desa (1949).[6] Ratna tidak melanjutkan karier aktingnya, walaupun pada tahun 1950 ia menjadi sutradara wanita pertama Indonesia melalui film Sedap Malam untuk perusahaan Persari milik Djamaluddin Malik.[25] Ali, Iskandar, dan Djauhari masih aktif menjadi aktor. Ali dan Iskandar sepanjang 1960-an dan Djauhari sampai 1970-an.[26] SPFC membuat enam film lagi sebelum dibubarkan pada penghujung Revolusi Nasional Indonesia tahun 1949.[g][27] Salinan 35 mm Djaoeh Dimata disimpan di Sinematek Indonesia, Jakarta.[28]

Catatan

  1. ^ Sejumlah sumber kontemporer mencantumkan ejaan Djaoeh di Mata, Djauh Dimata, dan Djauh di Mata.
  2. ^ Film ini dirilis saat Revolusi Nasional Indonesia, ketika Indonesia sudah menyatakan merdeka sedangkan Hindia Belanda masih berdiri secara resmi.
  3. ^ Beberapa sumber tidak menyebutkan peran Effendi.
  4. ^ Waktu itu, 130.000 gulden secara resmi setara dengan US$50.000 dengan nilai tukar 2,6 gulden per satu dolar. Akibat perang, harga dolar di pasar gelap mencapai 4 sampai 5 kali lipatnya (Mooney 1948, Holland).
  5. ^ Original: "... een tragedienne zonder weerga"
  6. ^ Original: "... zijn tranen van ontroering, niet bedwingen kan."
  7. ^ Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia setelah negosiasi selama beberapa bulan. Akhirnya pemerintah Indonesia mengakuisisi Regerings Film Bedrijf, perusahaan induk SPFC. Perusahaan ini digabung dengan Berita Film Indonesia dan terbentuklah Perusahaan Pilem Negara yang kelak berganti nama menjadi Perusahaan Film Negara (JCG, Berita Film Indonesia).

Referensi

Kutipan